Jan 16, 2014

Terjemah Ushul fi Tafsir syaikh al-'Utsaimin

Muqaddimah
Sesungguhnya segala puji milik Allah. Kami memujiNya, meminta pertolongan kepadaNya,dan meminta ampunan kepadaNya. Dan kami berlindung dari kejahatan diri kami dan kejelekan perbuatan kami. Siapa yang Allah berikan petunjuk , maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan Siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuknya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Amma ba’du:
Sesungguhnya di antara perkara terpenting dalam mempelajari setiap bidang ilmu adalah hendaklah seorang mempelajari ilmu itu dari ushul-nya, yaitu hal pokok yang sangat mendasar dari ilmu itu. Karena hal ini akan sangat membantu dalam memahami dan men-takhrij (mengeluarkan/menggalinya) ilmu itu secara benar berdasarkan ushul tersebut. Sehingga ilmu yang diperolehnya dibangun di atas landasan yang kuat dan sandaran yang kokoh. Dikatakan: “Barangsiapa yang meninggalkan ushul, ia tidak akan sampai pada tujuan.”
Di antara bidang ilmu yang paling agung, bahkan yang paling agung dan paling mulia, adalah ilmu tafsir yang merupakan penjelas makna kalam Allah ‘Azza wa Jalla. Para ulama telah meletakkan dasar-dasar ilmu tafsir, sebagaimana mereka telah melakukannya dalam ilmu hadits dan ilmu fiqih.
Saya telah menulis tentang ilmu tafsir sebagai buku pegangan para mahasiswa di Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah. Kemudian ada orang yang meminta agar saya menulis risalah ini secara terpisah dalam sebuah buku sehingga lebih mudah disajikan dengan bahasan yang lengkap. Maka sayapun mengabulkan permintaan itu. Saya memohon kepada Allah agar Dia memberikan kemanfaatan atas risalah saya ini.

Secara ringkas, isi buku ini adalah sebagai berikut:
• Al-Qur’an Al-Karim
1. Kapan permulaan turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam dan siapa malaikat yang membawa wahyu kepada beliau.
2. Ayat Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan.
3. Turunnya ayat Al-Qur’an ada dua macam: sababi dan ibtida’i.
4. Ayat-ayat Al-Qur’an ada yang makkiyyah dan ada yang madaniyyah, penjelasan tentang hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, dan urutan-urutan dalam Al-Qur’an.
5. Penulisan Al-Qur’an dan pemeliharaannya pada masa Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam.
6. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakr dan ‘Utsman radliallaahu ‘anhuma.


• Tafsir
1. Makna tafsir secara bahasa dan istilah, penjelasan tentang hukumnya, dan manfaat ilmu tafsir.
2. Kewajiban bagi seorang muslim dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3. Sumber rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Kalamullah subhaanahu wata’aala, yaitu berfungsi sebagai penafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
b. Sunnah Rasul shalallaahu ‘alaihi wasallam, karena Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam adalah penyampai risalah dari Allah subhaanahu wata’aala dan orang yang paling mengetahui makna dan maksud firman Allah subhaanahu wata’aala yang disebutkan di dalam Kitab-Nya.
c. Perkataan shahabat radliallaahu ‘anhum, terutama shahabat yang memiliki ilmu dan perhatian tentang tafsir, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka pula.
d. Perkataan para kibar tabi’in (tabi’in senior) yang memiliki perhatian untuk mengambil tafsir dari para shahabat radliallaahu ‘anhum.
e. Konsekuensi dari kata-kata berupa makna menurut syariat atau bahasa, sesuai konteks kalimat. Jika makna syar’i dan makna lughawi berbeda, maka yang diambil adalah makna syar’I, kecuali bila ada dalil yang lebih menguatkan makna lughawi.
4. Ikhtilaf (perbedaan) yang terdapat dalam tafsir yang ma’tsur (nukilan dari riwayat).
5. Penterjemahan Al-Qur’an, meliputi definisi, pembagian, dan hukum setiap bagiannya.


• Biografi singkat lima orang ulama terkenal dalam bidang tafsir, di antaranya tiga orang shahabat dan dua orang tabi’in.
• Pembagian Al-Qur’an dari sisi al-ihkam (jelas) dan at-tasyabuh (samar).
• Sikap orang-orang yang kokoh ilmunya dan sikap orang-orang yang condong pada kesesatan terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
• Ayat-ayat mutasyabihat ada dua macam: hakiki dan nisbi.
• Hikmah di balik ayat al-ihkam dan at-tasyabuh dalam Al-Qur’an.
• Anggapan adanya pertentangan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, beserta jawaban dan contohnya. • Al-Qasam (Sumpah) : definisi, adat (alat)-nya, dan faedahnya.  
• Al-Qashash (cerita): definisi, tujuan, hikmah di balik pengulangan dan perbedaan panjang pendeknya cerita, serta penggunaan metode dalam cerita.  
• Cerita Isra’iliyaat yang disisipkan di dalam penafsiran Al-Qur’an dan sikap ulama terhadapnya.
• Dhamir (kata ganti): definisi, sumber rujukan, isim zhahir menempati posisi isim dhamir dan faedahnya, pengalihan dhamir dan faedahnya, dhamir fashl (terpisah) dan faedahnya.

BAB ALQUR-AANUL KARIIM

(Pengertian) al Qur-aan dalam bahasa : (Al Qur-an adalah bentuk) masdar (dari) Qoro-a dengan makna membaca atau dengan makna mengumpulkan. Anda mengatakan Qoro-a Qur-an wa Qur-aanan seperti (halnya jika) anda mengatakan Ghofaro Ghufron wa Ghufroonan . Makna pertama [membaca] (adalah bentuk) masdar dengan makna isim maf’ul, yaitu dengan makna yang dibaca. (Sedangkan) makna kedua [mengumpulkan] (adalah bentuk) masdar dengan makna isim fa’il, yaitu dengan makna pengumpul untuk menghimpun khabar khabar dan hukum hukum [1]

(Pengertian) Alqur-an dalam syari’at : (Al Qur-an adalah) ucapan ( kalam ) Allah ta’alaa yang diturunkan kepada Rosul-Nya dan Penutup para nabi-Nya, (yaitu) Muhammad shalallahu’alaihi wa salam , dimulai dengan surat Al Faatihah, dan diakhiri dengan surat An Naas.. Allah ta’ala berfirman:

(إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلاً) (الانسان:23)

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” . (Al Insaan: 23)

(إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ) (يوسف:2)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”. (Yusuf: 2)

PENJAGAAN ALLAH TERHADAP ALQUR-AN
(Sub Judul dari Abu Ahmad ‘Abdul ‘Alim) 
Allah ta’alaa benar benar telah melindungi Al Qur-aan yang agung dari perubahan, tambahan, pengurangan dan penggantian. (Allah) ‘azza wa jalla menjamin dengan pemeliharaan-Nya (sebagaimana) Allah berfirman:

(إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ) (الحجر:9)

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr: 9)
Karena itu telah berlaku pada banyak masa, tidak ada seorangpun dari (orang orang) yang memusuhi Al Qur-an mencoba (untuk) melakukan perubahan dalam Al Qur-an, atau menambah atau mengurangi atau mengganti kecuali Allah ta’ala membongkar aibnya, dan membuka kejelekan kejelekan perkaranya.
 
SIFAT SIFAT AGUNG ALQUR-AN
(Sub Judul dari Abu Ahmad ‘Abdul ‘Alim) 
Allah mensifatinya (Al Qur-an) dengan sifat yang banyak. (Hal ini) menunjukkan kepada keagungannya, barokahnya, pengaruhnya dan kandungannya. Al Qur-an adalah sebagai hakim bagi segala (yang datang) sebelumnya dari kitab kitab (yang diturunkan Allah ta’alaa).
Allah ta’ala berfirman:

(وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ) (الحجر:87)

“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.” (Al Hijr: 87)

( وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ)(قّ: من الآية 1)

“ Demi Al Quran yang sangat mulia.” (Qoof: bagian dari ayat 1)
Allah juga berfirman:

(كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ) (صّ:29)

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shaad: 29)

(وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ) (الأنعام:155)

“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. “ (Al An’am: 155)

(إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ) (الواقعة:77)

“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia” (Al Waaqi’ah: 77)

(إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ ) (الإسراء : من الآية 9)

” Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (Al Israa’: bagian ayat 9)
Dan Allah ta’ala berfirman:

(لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعاً مُتَصَدِّعاً مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ) (الحشر:21)

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al Hasyr: 21)

(وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَاناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ (24 1 ) وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُون(25 1 َ) (التوبة: 124-125)

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. (124) Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (125) (At Taubah: 124 – 125)

( وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ)(الأنعام: من الآية 19)

“Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)” (Al An’aam: bagian ayat 19)

(فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَاداً كَبِيراً) (الفرقان:52)

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (Al Furqaan: 52)
Dan Allah ta’ala berfirman

(وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ)(النحل: من الآية 89)

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (An Nahl: bagian dari ayat 89)

(وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ )(المائدة: من الآية 48)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan” (Al Maa-idah: bagian ayat 48)

ALQUR-AN DAN AS SUNNAH ADALAH SUMBER SYARIAT ISLAM
(Sub Judul dari Abu Ahmad ‘Abdul ‘Alim) 
Al Qur-anul Karim adalah sumber dari syari’at islam yang Muhammad shalallahu’alaihi wa salam diutus dengannya kepada seluruh manusia. Allah berfirman:

(تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً) (الفرقان:1)

“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,” (Al Furqoon: 1)

(الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ(1 )اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَوَيْلٌ لِلْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيد(2ٍ) (ابراهيم: 1-2)

“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.(1) Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih,(2)” (Ibrahiim: 1 – 2)
Sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa salam (adalah sebagai) sumber syari’at juga seperti yang (telah ditetapkan) Al Qur-aan. Allah ta’alaa berfirman:

يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً) (النساء:80)

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An Nisa-a: 80)

(وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً)(الأحزاب:من الآية 36)

“ Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: bagian dari ayat 36)

(وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ)(الحشر:من الآية 7)

“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (Al Hasyr: bagian dari ayat 7)

(قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌرَحِيمٌ) (آل عمران:31)

“ Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imron: 31)
________________________________________________________________________________________________
Catatan Kaki
[1] Catatan kaki dari kitab Ushulun fii At Tafsiir:
Dimungkinkan (juga makna kedua [mengumpulkan] adalah bentuk masdar) dengan makna isim maf’ul, yaitu dengan makna yang dikumpulkan, karena dia (Al Qur-an) dikumpulkan dalam lembaran lembaran dan hati hati (manusia).


Ayat Al Qur’an yang Pertama Kali Turun

Ayat Al Qur’an yang pertama kali turun secara mutlak adalah potongan lima ayat pertama dalam surat Al Alaq, yaitu firman Allah ta’ala

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ اللَّذِيْ خَلَقَ (1)خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الاَكْرَمُ (3) اللَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الاِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ (5

Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Rabbmu adalah Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan dengan pena. Dia yang telah mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya [Al Alaq 1-5]
Setelah itu, wahyu terhenti beberapa lama. Kemudian, turunlah lima ayat pertama surat al muddatstsir, yakni firman Allah ta’ala

ـيَأ يُّهَاٱلۡمُدَّثِّرُ (١)قُمۡ فَأَنذِرۡ (٢)وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ (٣)وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ (٤)وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ (٥)

Wahai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan Rabbmu, agungkanlah. Dan pakaianmu, sucikanlah. Dan perbuatan dosa, tinggalkanlah [Al Muddatstsir : 1-5]
Di dalam shahihain(1) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang permulaan turunnya wahyu, dia berkata “Sampai datang kepada beliau (Rasulullah) al haq (wahyu), sementara itu beliau berada di gua hira. Lalu datanglah malaikat (Jibril), lantas dia berkata “Bacalah!”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “Aku bukanlah orang yang bisa membaca”. Lalu A’isyah melanjutkan hadits dan di dalam hadits tersebut “Kemudian beliau membaca…


اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ اللَّذِيْ خَلَقَ

sampai firman Allah

 عَلَّمَ الاِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ

Di dalam shahihain(2) pula terdapat hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menceritakan tentang terhentinya wahyu “Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari langit…” kemudian Jabir melanjutkan hadits, dan di dalam hadits tersebut “Maka Allah ta’ala menurunkan

ـيَأ يُّهَاٱلۡمُدَّثِّرُ (١)قُمۡ فَأَنذِرۡ (٢)وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ (٣)وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ (٤)وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ

Di sana ada beberapa ayat yang dikatakan sebagai ayat yang pertama kali turun. Yang dimaksud pertama kali turun disini adalah pertama kali turun ditinjau dari sisi tertentu, sehingga ia turun terkait dengan hal-hal tertentu. Sebagai contoh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu di dalam shahihain(3) ketika Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepadanya “Ayat manakah yang turun pertama kali dari Al Qur’an?” Jabir menjawab ـيَأ يُّهَاٱلۡمُدَّثِّرُ . Abu Salamah berkata “Aku telah diberi tahu bahwa ayat yang pertama kali turun adalah


 اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ اللَّذِيْ خَلَقَ .

Maka Jabir mengatakan “Tidaklah aku kabarkan kepadamu kecuali apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“Aku beri’tikaf di gua hira’. Tatkala aku telah menyelesaikannya turunlah…” lalu beliau (Jabir) melanjutkan hadits, di dalam hadits tersebut “Maka aku mendatangi Khadijah, akupun berkata kepadanya ‘Selimuti aku, guyurlah aku dengan air dingin!’ dan turunlah ayat kepadaku

 يَأ يُّهَاٱلۡمُدَّثِّرُ  

sampai firman Allah

 وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ .
Maka, ayat yang pertama kali turun yang disebutkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu ialah ditinjau dari sisi turunnya ayat setelah terputusnya wahyu, atau dari sisi ayat yang pertama kali turun saat pengangkatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Rasul, karena sesungguhnya ayat yang turun dalam surat Al Alaq adalah ayat yang menetapkan beliau menjadi Nabi dan ayat yang turun dalam surat Al Muddatstsir adalah ayat yang menetapkan beliau menjadi Rasul di dalam ayat قُمۡ فَأَنذِرۡ . Oleh karena itu, para ulama’ mengatakan sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diangkat sebagai Nabi dengan surat Al Alaq dan beliau diangkat sebagai Rasul dengan surat Al Muddatstsir. Wallahu a’lam.


Footnote :
1. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Kitab Bad’ul Wahyi, Bab1 : Kaifa kaana bad’ul wahyi ilaa rasulillah, hadits no. 3. Demikian pula oleh Imam Muslim, Kitabul Iman, bab 73: Bad’ul wahyi ilaa rasulillah, hadits no. 403 [252] 160.
2. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Kitab Bad’ul Wahyi, Bab1 : Kaifa kaana bad’ul wahyi ilaa rasulillah, hadits no. 4. Demikian pula oleh Imam Muslim, Kitabul Iman, bab 73: Bad’ul wahyi ilaa rasulillah, hadits no. 406 [255] 161.
3. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Kitab at tafsir, Bab3 : Qawluhu Yaa ayyuhal muddatstsir, hadits no 4942. Demikian pula oleh Imam Muslim, Kitabul Iman, Bab 73: Bad’ul wahyi ilaa rasulillah , hadits no 409 [257] 161

Hikmah Turunnya Al Quran Secara Berangsur-angsur

Telah jelas dari pembagian Al-Quran menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Quran turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Quran dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
  1. Pengokohan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla pada surat Al-Furqan, ayat 32—33,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا

“Dan orang-orang kafir berkata, ‘mengapa al quran itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (muhammad) dengannya, dan Kami membacakannya secara tertil (berangsur-angsur, perlahan-lahan, dan benar)”

وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

“Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.”
( tambhan : Menurut ibnu katsir, dalam ayat tersebut Alloh subhanahu wata’ala mengabarkan betapa keras kepala serta pembangkangnya orang-orang kafir, serta mereka turut campur pada perkara yang mereka tidak memiliki urusan padanya. Dari ayat tersebut juga dapat diambil faedah bahwa kitab-kitab yag sebelumnya diturunkana tidak diturunkan secara berangsur-angsur. Selain itu pada surat al furqan ayat 33 juga disebutkan bahwa orang-orang kafir akan senantiasa mencari celah dari al quran, menebar syubhat dan mengacaukan kaum muslimin. Namun demikian, sebagaimana tafsir ayat yang disebutkan oleh imam Ath thobari, bahwasanya, dan tidaklah kaum musyrikin datang kepada engkau dengan  membawa 1 hujjah pun, melainkan Alloh ‘azza wa jalla menurunkan kebenaran untuk membantah mereka. Dengan demikian dapat diambil faedah bahwa Alloh ‘azza wa jalla menjaga al quran dari syubhat-syubhat yang dibawa oleh kaum musyrikin. Alloh ta’ala pun menjawab syubhat-syubhat tersebut dengan jelas dan lebih baik. “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” )
  1. Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghapal, memahami serta mengamalkannya, karena Al-Quran dibacakan kepadanya secara bertahap. Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat Al-Isra`, ayat 106,
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا

“Dan al quran (Kami turunkan) secara berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.”
( tambahan : Imam Qatadah mengatakan bahwa tidaklah alquran diturunakan dalam waktu semalam atau dua malam, tidak pula satu atau dua bulan, juga tidak diturunkan  dalam waktu setaahun atau dua tahun. Akan tetapi, alquran diturunkan dalam kurun waktu 23 tahun. Hal tersebut agar manusia mudah untuk menghafalkannya, memahaminya, serta mengamalkannya ).
  1. “Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”
  2. Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Quran karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam ayat-ayat ‘ifk (berita dusta yang disebarkan sebagian orang tentang Aisyah radhiyallahu ‘anha=) dan li’an.
  3. Penetapan syariat secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamr, yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (Al Baqarah : 219)
( tambahan : Ibnu Katsir menafsirkan bahwa ayat tersebut adalah persiapan bagi manusia akan keharaman khamr, sehingga akal manusia akan memilih akan dosa dan manfaatnya. Akan tetapi dosanya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Dimana manfaat yang ada di dalamnya adalah manfaat duniawi semata. Dalam kondisi orang-orang pada masa itu sangat dekat dan akrab dengan khamr. Adanya persiapan ini merupakan bentuk dari betapa Alloh subhanahu wata’ala memahami kondisi dari hamba-hambaNYA, Alloh ‘azza wa jalla sangat memahami ciptaanNYA. Oleh karenanya Alloh ta’ala menurunkan ayat ini agar manusia bersiap-siap ).


Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.

Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.
Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakah mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.
Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.
[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12


Makna Tafsir Secara Bahasa dan Istilah
Secara bahasa, tafsir berasal dari kata الفَسْرُ, yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup.
Dan secara istilah, tafsir adalah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an Al-Karim. Mempelajari tafsir hukumnya adalah wajib, berdasarkan firman Allah ta’ala :

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لّيَدّبّرُوَاْ آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكّرَ أُوْلُو الألْبَابِ

”Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad : 29).
Dan berdasarkan firman Allah ta’ala :

أَفَلاَ يَتَدَبّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىَ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad : 24).
Istidllal (konklusi) dari ayat pertama adalah bahwa Allah ta’ala menjelaskan hikmah diturunkannya Al-Qur’an yang penuh berkah ini adalah agar manusia memperhatikan ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran yang terkandung di dalamnya. Tadabbur adalah memperhatikan, mempelajari, dan merenungi lafadh-lafadh untuk mencapai maknanya (yang hakiki). Jika hal itu tidak dilakukan, maka luputlah hikmah diturunkannya Al-Qur’an, dan jadilah Al-Qur’an hanya sekedar lafadh-lafadh yang menjadi bacaan rutinitas yang tidak dapat memberikan pengaruh bagi orang-orang yang membacanya.
Hal ini disebabkan karena pengambilan ibrah (pelajaran) itu tidak mungkin dapat dilakukan tanpa memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Istidllal (konklusi) dari ayat yang kedua adalah bahwa Allah ta’ala mencela orang-orang yang tidak memperhatikan Al-Qur’an, serta mengisyaratkan bahwa hal tersebut termasuk penutup dan penghalang hati mereka, sehingga kebenaran itu tidak sampai kepada hati mereka.
Dulu, para salaful-ummah (umat terdahulu) berada di atas jalan yang wajib ini. Mereka mempelajari Al-Qur’an, baik lafadhnya maupun maknanya, karena dengan cara itulah mereka akan mampu mengamalkan Al-Qur’an sesuai dengan yang dikehendaki Allah ta’ala. Karena mengamalkan sesuatu yang tidak diketahui maknanya adalah hal yang mustahil.
Berkata Abu Abdirrahman As-Salami,”Telah menceritakan kepada kami orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud, dan juga yang lainnya; bahwa apabila mereka mempelajari dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak menambahnya sampai mereka mempelajari pelajaran apa yang ada di dalam ayat-ayat tersebut, kemudian berusaha untuk mengamalkannya”. Mereka berkata,”Maka kami mempelajari Al-Qur’an, mengambil ilmu dari Al-Qur’an, dan sekaligus mengamalkannya”.
Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah,”Adat (tradisi) menghalangi suatu kaum untuk membaca sebuah kitab tentang suatu macam ilmu, seperti ilmu kedokteran dan ilmu hisab, tanpa menuntut penjelasan untuk hal itu. Maka bagaimana dengan Kalamullah ta’ala yang merupakan tali pegangan mereka, dan dengannyalah (dapat diraih) keselamatan dan kebahagiaan mereka, serta tegaknya agama dan dunia mereka”.
Wajib atas ahli ilmu untuk menjelaskan hal tersebut kepada umat manusia, baik dengan tulisan maupun dengan lisan, berdasarkan firman Allah ta’ala :

وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيّنُنّهُ لِلنّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

”Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) : Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya” (QS. Aali Imran : 187).
Dan penjelasan tentang Al-Qur’an kepada manusia itu bersifat menyeluruh, meliputi penjelasan tentang lafadh-lafadh dan makna-maknanya. Jadi, tafsir Al-Qur’an itu termasuk janji yang akan Allah minta pertanggungjawabannya kepada ahli ilmu untuk menjelaskannya.
Tujuan mempelajari ilmu tafsir adalah tercapainya tujuan yang terpuji dan buah yang mulia, yaitu At-Tashdiq (membenarkan) khabar-khabar Al-Qur’an dan mengambil manfaat dari khabar-khabar tersebut serta menetapkan hokum-hukumnya sesuai dengan yang dimaksud oleh Allah, yaitu agar dalam menyembah Allah ta’ala didasari atas bashirah (ilmu).

Kewajiban Bagi Seorang Muslim dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Kewajiban bagi seorang muslim dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah hendaknya ketika menafsirkan Al-Qur’an ia merasa dirinya adalah penerjemah Allah ta’ala, sebagai saksi atas-Nya tentang apa-apa yang Dia kehendaki dari kalam-Nya; sehingga dia mengagungkan persaksian ini dan takut mengatakan tentang Allah tanpa ilmu, karena hal itu bias mengakibatkan dia terjerumus kepada hal-hal yang Allah haramkan yang bias membuatnya hina di hari kiamat nanti. Allah ta’ala telah berfirman :

قُلْ إِنّمَا حَرّمَ رَبّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah : “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alas an yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-A’raf : 33).
Allah ta’ala berfirman
 :
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الّذِينَ كَذَبُواْ عَلَى اللّهِ وُجُوهُهُم مّسْوَدّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنّمَ مَثْوًى لّلْمُتَكَبّرِينَ

”Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (QS. Az-Zumar : 60).


Sumber Rujukan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Sumber rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’an
Yakni Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-Qur’an, karena Allah ta’ala Dia-lah Dzat yang menurunkan Al-Qur’an dan Dia-lah yang paling mengetahui maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an.
1). Firman Allaah ta’ala :

أَلآ إِنّ أَوْلِيَآءَ اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Yunus : 62). Dalam ayat ini, kata Auliyaaullah أَوْلِيَآءُ اللّهِ (wali-wali Allah) ditafsirkan oleh firman Allah pada ayat berikutnya, yaitu :

الّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتّقُونَ

”(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa” (QS. Yunus : 63).
2). Firman Allah ta’ala :

وَمَآ أَدْرَاكَ مَا الطّارِقُ

”Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (QS. Ath-Thariq : 2). Kata Ath-Thariq ditafsirkan dengan firman Allah ta’ala pada ayat ketiganya :

النّجْمُ الثّاقِبُ

”(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus” (QS. Ath-Thariq : 3).
3). Firman Allah ta’ala :

وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا

”Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya” (QS. An-Naazi’aat : 30). Kata دَحَاهَا ditafsirkan dengan dua ayat sesudahnya :


أَخْرَجَ مِنْهَا مَآءَهَا وَمَرْعَاهَا * وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا

”Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhan. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh” (QS. An-Naazi’aat : 31-32).
2. Sunnah Rasul
Yakni Al-Qur’an ditafsirkan dengan As-Sunnah, karena rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah muballigh (penyampai risalah) dari Allah ta’ala, maka beliau adalah manusia yang paling mengetahui maksud-maksud yangterkandung dalam firman Allah ta’ala.
Diantara contoh penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah adalah sebagai berikut :
1). Firman Allah ta’ala :

لّلّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَىَ وَزِيَادَةٌ

”Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahal yang terbaik (surga) dan tambahannya” (QS. Yunus : 26).
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menafsirkan kata وَزِيَادَةٌ (tambahan) dengan : “melihat wajah Allah ta’ala”; sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim secara jelas dari hadits Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab dan diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari hadits Ka’ab bin ‘Ujrah, dan dalam Shahih Muslim dari Shuhaib bin Sinan dari Nabi dalam suatu hadits beliau berkata,”Maka disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat Rabb mereka ‘azza wa jalla”; kemudian beliau membaca ayat ini :

لّلّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَىَ وَزِيَادَةٌ

”Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” (QS. Yunus : 26).
2). Firman Allah ta’ala :

وَأَعِدّواْ لَهُمْ مّا اسْتَطَعْتُمْ مّن قُوّةٍ

”Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. Al-Anfaal : 60).
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menafsirkan kata Al-Quwwah – الْقُوّة dengan “melempar”.
Diriwaytkan oleh Muslim dan lainnya dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radliyallaahu ‘anhu.
3. Ucapan Shahabat Radliyallaahu ‘anhum
Yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan shahabat radliyallaahu ‘anhum, terutama kalangan shahabat yang menguasai tafsir, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan pada jaman mereka, karena merekalah generasi – setelah Nabi – yang paling jujur dalam mencari Al-Haq (kebenaran), paling selamat dari hawa nafsu, dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan taufiq dari Allah ta’ala. Diantara contoh penafsiran Al-Qur’an dengan ucapan shahabat adalah sebagai berikut :

وَإِن كُنتُم مّرْضَىَ أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النّسَآءَ

”Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan” (QS. Al-Maidah : 6). Tersebut dalam riwayat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwa beliau menafsirkan al-mulamasah (menyentuh – wanita) dengan jima’ (bersetubuh).
4. Ucapan Pemuka Tabi’in
Yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan ucapan para pemuka tabi’in yang konsisten dalam penafsiran mereka atas ayat-ayat Al-Qur’an yang selalu merujuk kepada para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Karena tabi’in adalah sebaik-baik manusia setelah para shahabat dan paling selamat dari hawa nafsu daripada generasi sesudahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah pada masa mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang lebih dekat kepada kebenaran dalam memahami Al-Qur’an daripada generasi sesudahnya.
Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawaa,”Apabila mereka (para tabi’in) bersepakat atas sesuatu, maka tidak diragukan akan keberadaannya sebagai hujjah. Akan tetapi jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka tidak menjadi hujjah atas sebagian yang lain dan tidak pula menjadi hujjah atas orang-orang setelah mereka. Maka hal tersebut dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an atau Sunnah atau keumuman bahasa Arab atau perkataan shahabat tentang hal itu”.
Beliau juga berkata,”Siapa yang menyimpang dari madzhab-madzhab para shahabat dan para tabi’in serta tafsir mereka, maka dia telah berbuat kesalahan dalam hal tersebut. Bahkan dia bisa menjadi mubtadi’ (orang yang mengada-ada – bid’ah). Jika dia adalah orang yang berijtihad (mujtahid), maka diampuni kesalahan-kesalahannya”. Kemudian beliau berkata,”Maka barangsiapa yang menyelisihi perkataan mereka dan menafsirkan Al-Qur’an berbeda dengan tafsir mereka, maka dia telah berbuat kesalahan dalam hal dalil dan madlul (makna)”.
5. Pemaknaan Kalimat dari Tinjauan Syar’I atau Lughawi Sesuai dengan Kesesuaian Makna dalam Kalimat
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :

إِنّآ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النّاسِ بِمَآ أَرَاكَ اللّهُ

”Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa-apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (QS. An-Nisaa’ : 105).
Dan firman Allah ta’ala :

إِنّا جَعَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لّعَلّكُمْ تَعْقِلُونَ

”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS. Az-Zukhruf : 3).
Dan firman Allah ta’ala :

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رّسُولٍ إِلاّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيّنَ لَهُمْ

”Tidakkah Kami mengutus seorag Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim : 4).
Apabila makna syar’I dan makna lughawi (bahasa) berbeda, maka yang diambil adalah makna syar’I, karena Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali jika terdapat dalil yang lebih menguatkan makna lughawi. Maka yang dipakai adalah makna lughawi tersebut.
Contoh ayat yang mengandung perbedaan makna syar’i dan makna lughawi, kemudian didahulukan makna syar’i antara lain :
Firman Allah ta’ala tentang orang-orang munafik :

وَلاَ تُصَلّ عَلَىَ أَحَدٍ مّنْهُم مّاتَ أَبَداً

”Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka” (QS. At-Taubah : 84).
Sesungguhnya makna shalat secara bahasa berarti doa, dan secara syar’i makna shalat disini adalah berdiri di hadapan orang yang meninggal dunia untuk mendoakannya dengan syarat dan rukun tertentu. Maka didahulukanlah makna syar’i, karena maksud dari mutakallimin (orang yang bicara) adalah apa yang dipahami oleh mukhathab (orang yang diajak bicara).
Adapun larangan mendoakan mereka secara muthlaq, maka berasal dari dalil yang lainnya.
Contoh ayat yang di dalamnya mengandung perbedaan makna syar’I dan makna lughawi, kemudian didahulukan makna lughawi karena ada dalil yang menguatkan, adalah :
Firman Allah ta’ala :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهّرُهُمْ وَتُزَكّيهِمْ بِهَا وَصَلّ عَلَيْهِمْ

”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka” (QS. T-Taubah : 103).
Yang dimaksud dengan shalat di sini adalah doa, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Abi ‘Aufa, dia berkata,”Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dikirimi shadaqah dari suatu kaum, beliau mendoakan mereka”. Maka bapakku mendatangi beliau dengan membawa shadaqah, kemudian beliau berdoa,”Ya Allah, berikanlah keselamatan atas keluarga Abu ‘Aufa”.
Dan contoh ayat yang mengandung kecocokan makna syar’I dan makna lughawi banyak sekali, seperti السَّمَآءُ (langit), الأَرْضُ (bumi), الصِّدْقُ (kejujuran), اْلكَذِبُ (kedustaan), الحَجَرُ (batu), dan الإنْسَانُ (manusia).
Perbedaan Yang Terjadi Di Dalam Tafsir Bil Ma`tsur
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Perbedaan yang terjadi di dalam tafsir Bil Ma`tsur dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi:
Pertama, Berbeda lafazh, bukan Makna.
Hal seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ

”Dan Tuhanmnu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia” (QS. Al-Isra`: 23)
Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Qadla adalah Amara (memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya adalah Washsha (berwasiat).” Ar-Rabi’ bin Anas berkata, “Maknanya adalah Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan tersebut terhadap makna ayat.
Kedua, Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa masing-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat,[175] Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (QS. Al-A’raf : 175-176).
Ibn Mas’ud berkata, “Ia [orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Yaman.” Menurut riwayat lain darinya, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Balqa`.
Sinkronisasi terhadap pendapat-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan pertentangan (kontradiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan.
Contoh lainnya, firman-Nya :

وَكَأْسًا دِهَاقًا

“Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman)” (QS. An-Naba`:34).
Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Dihaaqa adalah penuh.” Mujahid berkata, “Maknanya adalah berurutan (teratur).” ‘Ikrimah berkata, “Maknanya adalah bening.”
Pada hakikatnya, antara pendapat-pendapat ini tidak terdapat pertentangan sebab ayat tersebut mencakupi semuanya sehingga diarahkan kepada semuanya dan masing-masing pendapat merupakan jenis dari makna tersebut.
Ketiga, Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat tidak dapat mencakupi kedua makna tersebut secara bersama-sama karena terjadi kontradisi di antara keduanya. Karena itu, maknanya harus diarahkan kepada pendapat yang paling kuat dari keduanya, baik melalui petunjuk redaksinya atau lainnya.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nahl:115).
Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap bangkai dan ‘Aadin [tidak pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut riwayat yang lain, “Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin, penguasa) dan tidak berbuat maksiat di dalam perjalanannya.”
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama sebab dalil tidak mengarah kepada makna kedua dalam ayat tersebut sedangkan yang dimaksud dengan kehalalan hal-hal yang disebutkan disitu adalah melawan kondisi darurat (sehingga tidak diharamkan karena khawatir jiwa binasa-red.,) sedangkan di dalam kondisi membangkang terhadap imam (Pemimpin), dalam kondisi bepergian yang diharamkan dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan).
Contoh lainnya adalah firman-Nya :

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang memegang ikatan nikah…” (QS. Al-Baqarah:237)
‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu mengatakan bahwa makna “orang memegang ikatan nikah” adalah suami. Ibn ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata, “Maknanya adalah Wali.” Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama (suami) sebab maknanya menunjukkan ke arah itu, juga karena telah diriwayatkan sebuah hadits dari Nabi mengenainya.



PENERJEMAHAN AL-QUR'AN

Terjemah secara bahasa adalah dipakai untuk beberapa arti yang semuanya kembali kepada arti penjelasan atau keterangan. Dan secara istilah Terjemah adalah mengungkapkan perkataan dengan bahasa lain.Dan Menterjemahkan Al-Qur’an adalah mengungkapkan makna – makna al-qur’an dengan menggunakan bahasa lain.

Terjemahan ada dua macam, yaitu:

Pertama : Terjemah harfiah, yaitu terjemahan dengan kata perkata.
Kedua    : Terjemah maknawiyah atau tafsiriyah, yaitu mengungkapkan makna perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain tanpa memperhatikan ( terikat ) mufrodat (kosa kata) dan susunan kalimatnya.

Contohnya adalah firman Allah yang berbunyi :
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ .الزخرف:3

“ Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)”.

Maka terjemahan harfiyahnya adalah dengan cara menerjemahkan kata perkata di dalam ayat ini, menjadi إِنَّا, kemudian جَعَلْنَاهُ, kemudian قُرْآناً, kemudian عَرَبِيّاً, dan seterusnya. Adapun terjemah ma’nawiyyahnya adalah dengan menerjemahkan makna ayat secara keseluruhan tanpa memperhatikan makna kata perkata dan susunannya. Penerjemahan semacam ini lebih dekat kepada makna tafsir ijmali (umum).

Hukum menterjemah Al-Qur’an

Menurut jumhur ulama terjemah Al-Qur’an secara harfiyah adalah sesuatu yang mustahil( mustahil secara kenyataannya dan haram secara syar’I ,
Fatwa haram terjemah harfiyah Al-Qur’an ke dalam bahasa ‘Ajam (non Arab), juga dikeluarkan oleh Dewan Ulama 7 negara di Timur Tengah, yaitu Jami’ah Al-Azhar, Kairo, Dewan Fatwa Ulama Saudi Arabaia, Universitas Rabat Maroko, Jam’ah Jordania, Jami’ah Palestina, Dr. Muhammad Husein Adz-Dzahabi dan Syeikh Ali Ash-Shabuni. Kesemuanya sepakat menyatakan, bahwa “terjemahan Al-Qur’an yang dibenarkan adalah tarjamah tafsiriyah, sedangkan tarjamah harfiyah terlarang atau tidak sah.” ), karena dalam metode menerjemahkan semacam ini disyaratkan beberapa syarat yang tidak bisa terpenuhi dengan terjemah harfiyyah, diantaranya;

Pertama : Harus ada kesesuaian antara kosa kata bahasa asli dengan bahasa terjemahan
Harus ada kesesuaian antar perangkat-perangkat makna antara bahasa yang akan diterjemahkan ( bahasa aslinya ) dengan bahasa terjemahannya.

Kedua   : Harus adanya kesamaan atau kemiripan kata dalam artinya antara bahasa asli dengan bahasa terjemahan .
Ketiga  : : Harus adanya kemiripan antara bahasa asli dengan bahasa terjemahan dalam hal susunan kata dan kalimat ( seperti hal sifat, idhofah atau lainnya )

Berkata sebagian ulama : “ Sesunguhnya terjemah harfiah ini dapat diterapkan pada sebagian ayat atau semisalnya. Akan tetapi meski demikian tetap diharamkan, karena terjemah harfiah itu tidak mungkin dapat mengungkapkan makna secara sempurna dan tidak bisa memberi pengaruh jiwa seperti pengaruh Al-Qur’an yang jelas ( yang berbahasa arab ), dan tidak ada hal yang mendesak untuk menggunakan terjemah secara harfiah, karena sudah cukup dengan terjemah secara ma’nawiyah.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun dirasa memungkinkan menggunakan terjemah harfiah pada sebagian kata, namun hal itu tetap juga terlarang secara syar’i, kecuali untuk menerjemahkan suatu kata yang khusus dengan bahasa orang yang diajak bicara supaya dia memahaminya, tanpa menerjemahkan seluruh susunannya, maka hal ini diperbolehkan.

Adapun menerjemahkan Al-Qur’an secara ma’nawiyah, maka hal itu diperbolehkan, karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal tersebut. Dan terkadang hal itu justru menjadi wajib ketika menjadi perantara untuk menyampaikan Al-Qur’an dan islam kepada orang-orang yang tidak bisa berbahasa arab, karena menyampaikan hal itu adalah wajib,
وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“ Segala sesuatu yang tidak akan menjadi sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib hukumnya “.
Akan tetapi diperbolehkannya terjemah al-qur’an secara ma’nawiyah dengan beberapa syarat berikut:

Pertama : Tidak menjadikan terjemahan ma’nawiyah tersebut sebagai pengganti dari Al-Qur’an, sehingga merasa cukup dengan terjemah ma’nawiyah saja serta tidak butuh lagi kepada Al-Qur’an. Oleh karena itu mesti menuliskan Al-Qur’an dengan bahasa arab, kemudian meletakkan terjemahan tersebut di sampingnya, sehingga kedudukannya seperti tafsir bagi ayat Al-Qur’an
Kedua : Orang yang menerjemahkan harus benar-benar menguasai kedua bahasa tersebut., yaitu bahasa asli dan bahasa terjemahan, dan apa yang dikehendaki dari kedua bahasa tersebut sesuai bentuk kalimat..
Ketiga : Orang yang menerjemahkan harus benar-benar mengetahui makna-makna lafadz syar’i dalam Al-Qur’an

Terjemah Al-Qur’an itu tidak diterima kecuali dari orang-orang yang dapat dipercaya untuk melakukannya, yaitu seorang muslim yang istiqomah di dalam agamanya.




Para Ahli Tafsir Terkenal Dari Kalangan Shahabat


Beberapa shahabat dikenal sebagai ahli tafsir, di antaranya –sebagaimana yang disebutkan as-Suyuthy adalah empat khalifah Islam; Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar Bin Khattab, ‘Utsman Bin Affan  dan ‘Ali Bin Abi Thalib.

Hanya saja riwayat mengenai tiga orang pertama (selain ‘Aly) tidaklah terlalu banyak karena kesibukan mereka mengurusi pemerintahan (kekhalifahan), di samping masih belum diperlukan adanya riwayat mengenai hal itu karena begitu banyaknya kalangan para shahabat yang memahami tafsir.

Di antara kalangan para shahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir juga adalah ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.

Berikut riwayat hidup singkat ‘Aly, ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.

1. ‘ALY BIN ABI THALIB RA

Beliau adalah anak paman Rasulullah SAW (sepupunya) dan suami dari anaknya, Fathimah, alias menantunya serta orang yang pertama-tama beriman dengannya dari kalangan keluarga dekatnya. Ia lebih dikenal dengan nama ini sedangkan Kun-yah (sapaan) nya adalah Abu al-Hasan dan Abu Turab.

Dilahirkan sepuluh tahun sebelum diutusnya Nabi SAW sebagai Nabi, terdidik di pangkuan Nabi SAW, mengikuti semua peperangan Rasulullah SAW dan pemegang panji di sebagian besarnya serta tidak pernah ketinggalan kecuali pada perang Tabuk karena diminta Nabi tinggal untuk menjaga keluarga beliau. Ketika itu, beliau SAW berkata kepadanya, “Tidakkah engkau rela kedudukanmu bagiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tidak ada Nabi setelahku.”

Manaaqib (sisi positif dari kehidupan seseorang) dan keutamaannya banyak sekali diriwayatkan, tidak seperti para shahabat lainnya. 2 kelompok binasa karena salah dalam menyikapi Ali, yaitu: pertama kelompok an-Nawaashib yang menancapkan permusuhan terhadapnya dan berusaha meyembunyikan sama sekali sisi positif dari kehidupannya. Kedua, Kaum Rafidlah (Syiah Ekstrem) yang berlebih-lebihan –menurut klaim mereka- dalam mencintainya dan membikin-bikin saja sisi positif kehidupannya yang tidak semestinya bahkan bila direnungi, malah banyak cacatnya (tidak benar).

Beliau RA terkenal sebagai seorang yang pemberani dan pintar, berilmu dan suci hatinya. Maka, tidak heran bilamana ‘Umar bin al-Khaththab RA berharap agar jangan sampai bila menghadapi suatu rintangan tanpa keberadaan Abu Hasan. Para Ahli Nahwu mengungkapkannya dengan istilah, “Masalah yang tanpa Abu Hasannya.” (alias menunjukkan betapa penting perannya-red.,)

Diriwayatkan dari ‘Aly RA, bahwasanya dia pernah berkata, “Tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku, tanyakan kepadaku tentang Kitabullah. Demi Allah, tidak satu ayat pun kecuali aku mengetahui apakah diturunkan pada malam atau siang hari.”

Ibn ‘Abbas RA berkata, “Bila ada riwayat dari periwayat Tsabat (yang dapat dipercaya) yang meriwayatkan dari ‘Aly, maka kami tidak akan mengambil yang lainnya.”

Diriwayatkan juga darinya (Ibn ‘Abbas) bahwasanya dia berkata, “Apa yang aku ambil dari tafsir Qur’an, maka pastilah ia dari ‘Aly bin Abi Thalib. Ia salah seorang dari anggota dewan syuro yang dinominasikan ‘Umar guna menunjuk khalifah. ‘Abdurrahman menawarkan jabatan itu kepadanya namun ia menolaknya kecuali dengan syarat-syarat yang sebagiannya tidak dapat diterimanya, kemudian dia (‘Abdurrahman bin ‘Auf) membai’at ‘Utsman, kemudian ‘Ali dan orang-orang pun membai’atnya. Setelah ‘Utsman, ia dibai’at untuk menjabat sebagai khalifah hingga terbunuh sebagai syahid di Kufah pada malam 17 Ramadlan tahun 40 H.

2. ‘ABDULLAH BIN MAS’UD RA

Beliau adalah ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hadzaly sedangkan ibunya Ummu ‘Abd yang terkadang nasab beliau dinisbatkan kepadanya (Hal ini karena ayahnya mati dalam ‘agama’ jahiliyyah sedangkan ibunya hidup dalam masa Islam dan memeluk agama Islam ).

Ia merupakan salah seorang dari orang-orang yang masuk Islam terdahulu, berhijrah dua kali dan ikut serta dalam perang Badar dan peperangan setelahnya.

Ia mengambil al-Qur’an dari Nabi SAW sebanyak tujuh puluh-an surat. Pada permulaan Islam, Nabi SAW pernah berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah si anak yang (berpredikat) pengajar.” Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang ingin membaca al-Qur’an dalam kondisi masih segar sebagaimana diturunkan, maka bacalah sesuai bacaan Ibn Ummu ‘Abd.”

Di dalam shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Ibn Mas’ud RA berkata, “Para shahabat Rasulullah SAW telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling mengetahui mengenai Kitabullah di kalangan mereka.” Dalam momen yang lain, ia berkata, “Demi Allah Yang Tiada Tuhan –yang berhak disembah- selain-Nya, tidaklah satu surat pun dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui di mana ia diturunkan dan tidaklah satu ayat dari Kitabullah yang diturunkan melainkan aku mengetahui pada siapa ia turun. Seandainya aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai Kitabullah di mana untuk mencapainya harus menggunakan onta (kendaraan), maka pasti aku akan berangkat ke sana.”

Ia termasuk Orang yang mengabdi kepada Nabi SAW, yang memasangkan kedua sandalnya, mengambilkan air untuk wudlunya dan mengambilkan bantal untuk tidurnya. Sampai-sampai Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Saat aku datang bersama saudaraku dari Yaman, kami tinggal beberapa waktu. Dalam masa itu, kami hanya melihat ‘Abdullah sebagai seorang Ahli Bait Nabi SAW karena kami melihat betapa seringnya ia dan ibunya menemui Nabi SAW. Dan karena mulazamahnya ( pendampingannya ) yang begitu lama dengan Nabi SAW, ia begitu terpengaruh dengannya dan dengan petunjuknya hingga Hudzaifah berkata mengenainya, “Aku tidak mengenal seorang pun yang lebih dekat petunjuk dan sifatnya dengan Nabi SAW selain Ibn Ummu ‘Abd (Ibn Mas’ud).”

Ia pernah diutus ‘Umar bin al-Khaththab ke Kufah untuk mengajarkan urusan agama kepada penduduknya dan mengutus ‘Ammar bin Yasir sebagai Amirnya. ‘Umar mengomentari, “Sesungguhnya keduanya termasuk orang-orang cerdas di kalangan shahabat Nabi SAW, karena itu ikutilah mereka.”

Kemudian ‘Utsman mengangkatnya jadi Amir di Kufah, lalu mencopotnya dan memeritahkannya agar kembali ke Madinah. Di Madinah lah beliau (‘Aly) wafat (dibunuh oleh Ibn Muljam, orang persia-red.,), tepatnya pada tahun 32 H dan dikuburkan di pekuburan Baqi’ dalam usia 70-an tahun.

3. ‘ABDULLAH BIN ‘ABBAS

Beliau adalah anak paman (sepupu) Rasulullah SAW, lahir tiga tahun sebelum hijrah. Beliau hidup bersama Rasulullah SAW dan mendampinginya karena ia adalah anak pamannya (sepupunya), sedangkan bibinya Maimunah di tanggung oleh Nabi SAW. Rasulullah pernah merengkuhnya ke dada beliau seraya berdoa, “Ya Allah, ajarilah ia al-Hikmah.” Dalam suatu riwayat disebutkan, “(Ajarilah ia) al-Kitab (al-Qur’an).”

Ketika mengajarinya berwudlu beliau SAW berdoa, “Ya Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya.” Berkat doa yang diberkahi ini, ia kemudian benar-benar menjadi ‘tinta’ nya Umat (lautan ilmu) di dalam menyebarkan tafsir dan fiqih. Allah menganugerahinya taufiq di dalam bergiat mendapatkan ilmu dan bersungguh-sungguh di dalam menuntutnya serta bersabar di dalam menerimanya. Dengan begitu, ia meraih kedudukan yang tinggi sampai-sampai Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab RA mengundangnya ke majlis-majlisnya dan mengambil pendapatnya. Orang-orang Muhajirin berkata (kepada ‘Umar), “Tidakkah engkau undang anak-anak kami sebagaimana engkau undang Ibn ‘Abbas.?” Maka, ia menjawab, “Itulah pemuda yang menginjak dewasa, yang memiliki lisan yang banyak bertanya dan hati yang banyak akalnya.”

Pada suatu hari, ‘Umar mengundang mereka, lalu tak berapa lama menghadirkan Ibn ‘Abbas bersama mereka untuk memperlihatkan kepada mereka kebenaran langkahnya tersebut. ‘Umar berkata, “Apa pendapat kalian mengenai firman Allah, “Bila telah datang pertolongan Allah dan Penaklukan.” (surat an-Nahsr hingga selesai). Maka, sebagian mereka berkata, “Kita diperintahkan agar memuji Allah dan meminta ampun kepada-Nya bila kita menang (dapat menaklukkan Mekkah).” Sebagian lagi hanya terdiam saja. Lalu, ‘Umar pun berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Apakah kamu juga mengatakan demikian.?” Ia menjawab, “Tidak.” Lalu ‘Umar bertanya, “Kalau begitu, apa yang akan kamu katakan.?” Ia menjawab, “Itu berkenaan dengan ajal Rasulullah SAW di mana Allah membeitahukan kepadanya bila telah datang pertolongan-Nya dan penaklukan kota Mekkah, maka itulah tanda ajalmu (Yakni Rasulullah-red.,), karena itu sucikanlah Dia dengan memuji Rabbmu dan minta ampunlah kepada-Nya karena Dia Maha Menerima taubat.” ‘Umar pun berkata, “Yang aku ketahui memang seperti yang engkau ketahui itu.” Ibn Mas’ud berkata, “Sebaik-baik Turjumaan al-Qur’an (penerjemah) adalah Ibn ‘Abbas. Andaikata ia seusia kami, niscaya tidak seorang pun dari kami yang menandinginya.” Padahal, Ibn ‘Abbas hidup setelahnya (Ibn Mas’ud) selama 36 tahun kemudian. Nah, bagaimana pendapat anda mengenai ilmu yang diraihnya setelah itu.?

Ibn ‘Umar pernah berkata kepada salah seorang yang bertanya mengenai suatu ayat kepadanya, “Berangkatlah menuju Ibn ‘Abbas lalu tanyakanlah kepadanya sebab ia adalah sisa shahabat yang masih hidup yang paling mengetahui wahyu yang diturunkan kepada Nabi SAW.”

‘Atha` berkata, “Aku tidak pernah melihat sekali pun ada suatu majlis yang lebih mulia dari majlis Ibn ‘Abbas dari sisi fiqih, demikian juga yang paling agung dari sisi wibawanya. Sesungguhnya para ahli fiqih berada di sisinya, para ahli Qur’an berada di sisinya dan para ahli sya’ir juga berada di sisinya. Ia menimbakan untuk mereka semua dari lembah yang luas.” (maksudnya : mengajarkan ilmu yang banyak-red.,)

Abu Wa`il berkata, “Saat Ibn ‘Abbas menjadi Amir haji atas perintah khalifah ‘Utsman, pernah ia berpidato kepada kami dengan membuka surat an-Nur; ia membaca dan menafsirkannya. Selama ia begitu, aku pun bertutur pada diriku, ‘Aku tidak pernah melihat atau pun mendengar ucapan seseorang sepertinya. Andaikata didengar oleh orang-orang Persia, Romawi dan Turki (maksudnya : waktu sebelum Islam), pastilah mereka semua masuk Islam.”

Saat ia diangkat jadi Amir haji tersebut oleh khalifah ‘Utsman itu adalah tahun 35 H, lalu diangkat jadi penguasa di Bashrah oleh khalifah ‘Aly bin Abi Thalib namun tatkala ia (‘Aly) meninggal karena terbunuh, ia pulang ke Hijaz, bermukim di Mekkah kemudian keluar dari sana menuju Tha`if dan wafat di sana pada tahun 68 H dalam usia 71 tahun.

REFERENSI :
  1. Ushulun Fit –Tafsir, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin
  2. Kaedah Menafsirkan Al-Qur’an, syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin, alih bahasa Abu Abdillah Ibnu Rasto, Solo, Pustaka Ar Rayyan, Cetakan pertama, Maret 2008.
  3. Terjemahan Abu Ahmad Abdul ‘Alim Ricki Kurniawan AlMutafaqqih ( http://alwajiz.wordpress.com)
  4. almudzakarah.wordpress.com
  5. https://www.facebook.com/tarjamah.tafsiriyah/posts/1391823311041378?stream_ref=10 
  6. http://www.alsofwah.or.id/cetakquran.php?id=67

No comments:

Entri Populer

Iklan